Senin, 04 Agustus 2008

politik negeriku

RELEVANSI FILOSOFIS “SIADI DEMEN BABI”

DALAM TUGAS KEPOLISIAN

Oleh : Yayan Sofian

ABSTRAKSI

Ada filsafat yang menyatakan bahwa ”kekuatan rantai terletak pada mata rantai yang paling lemah”, artinya ketika rantai itu dipergunakan menarik beban maksimal dan terakhir ada mata rantai yang lemah dan tidak kuat lagi menahan beban sampai akhirnya putus, maka kekuatan rantai itu hanya dibatas tersebut. Merujuk kepada filsafat tersebut sebuah organisasi apapun pasti mempunyai titik kelemahan, dan apabila organisasi itu ingin mempertahankan eksistensinya tentu harus melakukan penguatan terhadap titik kelemahannya. Polri adalah suatu organisasi yang mempunyai sistem tersendiri yang terdiri dari berbagai elemen kesatuan, titik kelemahan yang teridentifikasi paling menonjol dalam sistem Polri adalah adanya motivasi anggota yang berbeda-beda dalam melaksanakan tugasnya, terutama adanya perbedaan materi diantara fungsi satu dengan yang lainnya yang tidak jarang menimbulkan kecemburuan sosial diantara sesama anggota.

Salah satu fitrah manusia terlahir ke alam dunia ini, adalah mempunyai rasa keinginan, kemauan dan kehendak agar dapat hidup yang lebih baik. Keinginan atau cita-cita untuk hidup selamanya dengan penuh kebahagiaan, kemauan dapat meraih dan mencapai cita-cita tersebut dengan mudah dan cepat, kehendaknya dapat mempertahankan hidupnya agar hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini.

Untuk mengantarkan keinginan, kemauan dan kehendak manusia tersebut Tuhan Yang Maha Bijaksana telah memberikan fitrah lainnya berupa akal dan fikiran. Sehingga manusia mampu membedakan antara salah dan benar “right and wrong” yang melahirkan etika pergaulan hidup bersama lingkungannya dimana ia berada, mampu membedakan hal-hal keindahan dan keburukan “beautiful and ugly” yang melahirkan kesenian “estetika”, kemudian kesempurnaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan adalah pengembangan pemikirannya melalui ide-ide dan kekayaan intelektualismenya sehingga bisa berkreasi dan berkarya cipta.

Namun terkadang keinginan, kemauan dan kehendak manusia tersebut akan keluar dari dalam ego dirinya dan terkadang akan berbenturan dengan sesama manusia lainnya yang mengakibatkan konflik baik antar individu maupun antar kelompok. Untuk membatasi keinginan, kemauan dan kehendak manusia agar tidak bersinggungan dengan sesamanya lahirlah norma-norma dan kaidah hukum untuk mengatur pergaulan hidupnya, sehingga kehidupan manusia ada keseimbangan dan bisa hidup berdampingan dengan sesamanya atau lebih luas dengan lingkungan alamnya. Dalam fase ini juga mungkin lahirnya cikal bakal tugas dan fungsi kepolisian “Police, Law enforcement, Regulate, Control, Keep watch over, Monitor, Patrol, Supervise”. Idealnya orang yang bertugas mengemban tugas kepolisian dimana saja berada haruslah orang yang kuat, bijak, jujur, adil, dan sifat-sifat kebaikan lainnya yang diajarkan Tuhan dan mampu melawan sifat ketamakan dan keserakahan manusia yang tergoda oleh bujuk dan rayuan Syetan yang menyesatkan dan merugikan manusia dan lingkungannya.

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) bertugas untuk menegakan hukum, menjaga dan memelihara situasi keamanan dan ketertiban masyarakat serta senantiasa memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Eksistentensi tugas pokok Polri tersebut sangat relevan sekali dengan kebutuhan manusia dalam rangka menjaga keseimbangan fitrah manusia agar bisa hidup berdampingan dengan lingkungannya dalam keadaan damai, aman, tertib dan sejahtera. Untuk itu postur tubuh Polri harus kuat, cerdas dalam bekerja dan dapat dipercaya masyarakat atau diandalkan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Fenomena yang berkembang dimasyarakat saat ini eksistensi Polri masih jauh dari harapan masyarakat “das sein dan das sollen”, pelayanan kepada masyarakat masih diukur dengan jumlah uang yang dikeluarkan, keadilan masih susah terbeli rakyat kecil dan lain-lain tudingan miring sering menghujam kedalam tubuh Polri.

Intropeksi diri dari kritik yang masuk ketubuh Polri, teridentifikasi bahwa terdapat kelemahan dalam bidang sumber daya manusia (SDM), tingkat kesejahteraan anggota relatif kurang dan adanya perbedaan motivasi pelaksanaan tugas ditiap fungsi, kelemahan itu tidak seimbang dengan bobot dan beban kerja yang harus dihadapinya, akibatnya tugas pokok yang harus dilaksanakannya seringkali tercecer dan terabaikan karena kekurang mampuan dalam mengemban tugas tersebut, akibatnya cemoohan dan kritikan tajam sering menghujam ke tubuh Polri.

Kebijakan penambahan personil secara kuantitas yang tergelar ke satuan tingkat bawah (Polsek/Polsekta) tidak diiringi dengan kualitas SDM yang memadai dan mampu menguasai pesatnya perkembangan lingkungan globalisasi teknologi terutama informasi, sehingga Polri seakan tercecer ketinggalan jaman, tantangan tugas dibidang pemeliharaan Kamtibmas, penegakan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat kurang optimal dan terkesan lambat, dan dikritik hanya sebuah jargon yang berisi kata-kata kosong yang mengkristal berada dilangit tidak bisa membumi.

Sedangkan dalam tingkat kesejahteraan personil Polri cenderung relatif kurang, dibandingkan dengan tantangan tugas yang dihadapinya, kelemahan ini sering menjadikan aparat Polri mudah dan rapuh ditembus para pelaku kejahatan yang dapat menggiring tudingan instusi Polri menjadi salah satu lembaga terkorup yang penuh dengan kolusi, korupsi dan nepotisme. Kesejahteraan anggota Polri walaupun kalau dibandingkan dengan instansi Pemerintahan lainnya tidak terlalu jelek, namun mengingat tantangan yang harus dihadapi begitu besar, kesejahteraan yang memprihatinkan ini terkadang menjadi faktor penyebab terjadinya penyelewengan dalam pelaksanaan tugas. Terutama penyalahgunaan wewenang, penyuapan, pungutan liar dan lain sebagainya.

Sedangkan motivasi tugas yang berbeda antara fungsi yang satu dengan yang lainnya asalnya entah darimana mulainya, sekarang ini dalam tubuh Polri terdapat perbedaan motivasi anggota dalam melaksanakan tugas yang sangat menyolok diantara fungsi-fungsi yang ada, hal itu bisa dilihat dari kegiatan pelaksanaan tugas anggota Satuan Lantas tentunya akan berbeda dengan pelaksanaan tugas anggota Satuan Samapta, atau dengan anggota Polsek, atau dengan anggota Binamitra dan lain-lain. Yang menjadi pertanyaan kenapa motivasi menjadi anggota SatLantas lebih besar ketimbang menjadi anggota Polsek?, kalau motivasinya sesuai dengan idealisnya seorang polisi itu akan mengharumkan tugas Polri, namun jika motivasinya untuk hal-hal lain yang hanya akan menguntungkan pribadinya maka tunggulah kehancuran citra Polri. Hal ini mungkin harus dipahami oleh seluruh pimpinan, agar dalam menempatkan anggota sesuai dengan minat dan kecakapan dalam bekerja.

Motivasi adalah salah satu sumber-sumber administrasi dan manajemen, tujuannya adalah untuk merangsang anggota untuk dapat bekerja dengan iklas dan baik sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan oleh organisasi. Selama ini pemberian motivasi pelaksanaan tugas di Polri cenderung identik dengan iming-iming materi saja, maka tidak heran apabila lahirlah apa yang disebut dengan jabatan basah dan kering. Anggota akan bersifat malas-malasan apabila dia dimutasi ketempat yang dianggap tidak ada sumber materi yang akan menguntungkan dirinya, walaupun harus bayar dengan uang mahal tidak menjadi masalah karena dalam tempo waktu sekian tentunya modalnya akan kembali. Jika hal itu dibiarkan maka tidak saja akan menjadikan institusi ini rendah kinerjanya tapi juga akan memunculkan konflik antar anggota yang dipicu dari adanya kecemburuan sosial.

Fungsi-fungsi yang ada dalam tubuh Polri adalah merupakan sebuah rangkaian sistem yang tidak dapat terpisahkan dengan fungsi-fungsi yang lainnya, jika salah satu lemah maka akan putus pula kekuatan Polri ini, dengan demikian tidak boleh terjadi adanya perbedaan motivasi pelaksanaan tugas, semua fungsi harus sama dan saling menunjang dari mulai pangkat terendah sampai pangkat tertinggi. Jika selama ini motivasi hanya dikarenakan adanya perbedaan sumber kesejahteraan yang menguntungkan salah satu fungsi maka hal itu harus dikaji lebih mendalam, agar fungsi tersebut tidak terseret kepada penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang yang akan merugikan citra Polri.

Upaya perbaikan untuk mengatasi kelemahan telah dilakukan oleh Polri, yang paling terasa adalah upaya pemenuhan sarana, prasarana dan anggran yang berbasis kinerja serta adanya perbaikan tingkat kesejahteraan anggota Polri. Harapannya agar Polri menjadi lembaga yang mandiri dengan kinerja dan profesionalisme yang tinggi dalam pelaksanaan tugasnya. SDM Polri mulai ditingkatkan dari mulai rekruitmen, perawatan dan pemeliharaan personil sampai pada pengakhiran masa tugas. Namun idealnya langkah perbaikan tersebut harus diikuti dengan langkah yang nyata yang dapat dirasakan dapat menumbuhkembangkan motivasi seluruh anggota Polri dalam pelaksanaan tugasnya, sehingga setaip anggota Polri dimana saja bertugas mendapatkan hak dan kewajiban yang sama, promosi pangkat dan jabatan hanya diberikan kepada orang yang mampu dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, tidak lagi memikirkan harus bayar berapa, tapi dibuktikan dengan kinerja tinggi anggota yang bersangkutan dengan penilaian yang obyektif secara “meryt system” dan menghilangkan unsur suka dan tidak suka “Like and dislike” yang menambah boroknya lembaga Polri.

Konsep perbaikan kelemahan Polri dibidang SDM, kesejahteraan dan peningkatan motivasi pelaksanaan tugas dilapangan bisa dipakai cermin dari filosofi “Siadi Demen Babi”. Satu ajaran yang biasa diberikan kepada anggota Polri dalam masa pendidikan pembentukan dalam teknik pemeriksaan terhadap orang, dan untuk cara menghapalnya biar mudah biasanya disingkat dengan “SIADI DEMEN BABI” artinya siapakah, apa yang terjadi, dimanakah, dengan alat apakah, mengapa itu terjadi, bagaimana kejadiannya, dan bilamanakah itu terjadi. Dari konsep teknik pemeriksaan tersebut ada beberapa senior Polri yang mengkonotasikan Siadi Demen Babi itu menjadi penumbuh motivasi dalam bekerja untuk anggota Polri, dan kiranya tidak ada jeleknya apabila di implementasikan untuk menjadi ajaran dan tuntunan bagi perilaku anggota polri. Adapun kosep Siadi Demen Babi tersebut menjadi sebagai berikut:

1. Siapakah saya dan siapakah mereka?

Pernyataan ini sama dengan seni perang Sun Tzu, dimana salah satu strategi dan kebijaksanaan perang yang terkenal diawali dengan mengenali diri sendiri dan mengenali musuhnya. Siapa saya artinya kenali kekuatan dan kelemahan diri kita sendiri, apa tugas pokoknya, bagaimana memperbaiki supaya bisa meningkatkan kinerja dan profesionalismenya. Siapakah mereka artinya kenali siapa mereka yang berada dihadapan kita, harus diperlakukan bagaimana mereka, apakah mereka itu hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan, kenali kekuatan dan kelemahan mereka.

2. Apa yang terjadi dengan Saya dan apa yang terjadi dengan mereka?

Apa yang terjadi dengan saya dapat diartikan apa fungsi dan peranan kita selama ini, apa yang terjadi bagi kita apabila kita melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, apa keuntungan dan kerugiannya. Pengetahuan ini akan menuntun kepada kita untuk menumbuhkan motivasi dan meningkatkan kinerjanya karena dengan menyadari fungsi dan peranan dirinya kita akan ingat dan sadar akan hak, tugas dan kewajibannya sesuai dengan tugas pokok, harapannya akan dengan iklas bekerja tanpa tekanan siapaun dan hasilnya akan lebih baik, kemudian kita akan sadar harus mengerjakan apa dan bertanggung jawab kepada siapa.

Sedangkan apa yang terjadi pada mereka, menyadarkan pada diri kita bahwa disamping kita ada fungsi dan peranan orang lain yang tidak boleh kita abaikan, kita harus mengetahui fungsi dan peranan orang lain sebab mungkin ada hubungan dengan diri kita, atau setidaknya kita tidak boleh mengganggu mereka. Kita harus peduli kepada mereka, tidak boleh acuh atau membiarkan mereka berjalan secara sendiri-sendiri.

3. Dimanakah Saya bekerja dan dimana pula mereka bekerja?

Dimana saya bekerja artinya bukan saja kita hanya mengetahui tempat kita bekerja tapi kita harus mengetahui struktur organisasi, siapa mengerjakan tugas apa dan bertanggung jawab kepada siapa, dengan demikian pengertian ini membimbing kita untuk mengetahui dan melaksanakan uraian pekerjaan “job description” dalam organisasi kita.

Pengetahuan kita tentang dimana mereka bekerja adalah menuntun kepada kita agar tidak ego atau mengkotakan diri dalam bekerja, kita harus sadar bahwa kita bekerja sebagai suatu sistem yang terangkai dan tidak dapat dipisahkan dengan pekerjaan orang lain atau fungsi lainnya, dengan demikian kita harus mengetahui juga hubungan tata cara kerja (HTCK) yang ada dalam organisasi

4. Dengan apa saya bekerja dan dengan apa pula mereka bekerja?

Filosofi dari pertanyaan ini dapat diartikan bahwa kita bekerja dengan alat peralatan yang tersedia atau disediakan dinas, artinya selain kita dituntut untuk menguasai peralatan juga dituntut untuk mampu menggunakan dan merawatnya dengan baik, agar barang tersebut umurnya panjang, tidak boros dan dapat digunakan untuk menunjang kinerja dan profesionalisme organisasi. Tuntutan perkembangan globalisasi teknologi terutama informasi menuntut adanya penggunaan peralatan yang modernisasi, untuk itu diperlukan penambahan wawasan pengetahuan yang mampu mengimbangi kebutuhan organisasi agar tidak terkesan tercecer dan ketinggalan jaman, sehingga pelayanan kepada masyarakat dinilai lambat. Adanya keterbatasan dalam sarana dan prasarana pekerjaan sebuah organisasi banyak disebutkan sebagai alasan kelasik untuk menutupi kekurangan organisasi, untuk mengatasi hal tersebut kita harus menyadari bahwa peralatan dan fasilitas kerja yang ada juga sering dipakai orang lain untuk bekerja, dengan demikian kita harus bisa bekerjasama dengan mereka dari fungsi lain untuk dapat menggunakan peralatan kerja dan fasilitas lain secara bersama-sama dengan tanggungjawab bersama. Dengan menyadari filosofi ini akan memunculkan jiwa korsa atau semangat kebersamaan dengan memiliki rasa saling memiliki.

5. Mengapa saya bekerja dan mengapa pula mereka bekerja?

Filosofi pertanyaan ini mengingatkan kepada kita bahwa kita dituntut untuk selalu produktif sesuai dengan profesi yang diembannya, hasil pekerjaan atau kinerja dan profesionalisme organisasi kita ditunggu hasil karyanya. Kalau kita tidak produktif atau malas-malasan dalam bekerja selain dicap menghianati profesi juga berimbas kepada citra dan merk organisasi yang hanya menyebarkan dan menggembar gemborkan jargon kosong atau kebohongan. Pertanyaan ini juga akan mendorong dan menumbuhkan kesadaran kepada kita bahwa selain kita bekerja juga ada orang lain yang bekerja untuk tujuan yang sama walau berbeda bidang pekerjaannya, untuk itu kita harus dapat saling dukung mendukung untuk mewujudkan tercapainya tujuan organisasi kita yang lebih besar lagi.

6. Bagaimana saya bekerja dan bagaimana pula mereka bekerja?

Pertanyaan ini menyatakan bahwa kita bekerja menggunakan metode dan prosedur bekerja, tidak asal-asalan tidak ngawur (semau gue, sekarep ingsun, sakahayang dewek) yang cenderung menyeleweng atau menyalahgunakan wewenang yang akan merusak citra dan merk organisasi, demikian juga orang lain bekerja dalam organisasi ini, mereka bekerja ada tata kerja. Kesadaran ini membimbing kita untuk profesional dalam bekerja, karena kemampuan kinerja semua orang dalam organisasi bisa diukur. Dengan demikian jabatan yang ada dalam organisasi ini tidak diberikan hanya kepada orang yang mau saja, tapi dipertimbangkan kepada kemampuannya dalam melaksanakan pekerjaannya. Persaingan secara sehat terjadi dan melahirkan kinerja dan profesionalime organisasi yang dipercaya masyarakat sebagai pelanggannya “stake houlder”.

7. Bilamana waktu saya bekerja dan Bilamana pula mereka bekerja?

Filosofi dari pertanyaan ini begitu luas apabila direnungkan lebih dalam, karena hal ini tidak saja menyangkut kepada waktu pelaksanaan bekerja sehari-hari apel pagi jam 07.00 dan apel pulang jam 15.00, tapi juga bisa keberbagai aspek keberbagai aspek dalam organisasi, terutama terhadap kebijakan pimpinan dalam penempatan jabatan, kapan saya bekerja menempati posisi ini, dan kapan pula mereka akan menempati posisi saya atau sebaliknya. Pemikiran ini kalau dilaksanakan secara konsekuwen yang ditujukan hanya semata untuk menuju organisasi yang mempunyai kinerja dan profesionalisme yang tinggi dan dipercaya oleh masyarakat mau tidak mau harus mengacu kepada ilmu analisa jabatan. Analisa jabatan biasanya dimulai dari menentukan kriteria siapa yang pantas menduduki jabatan tersebut, berapa umurnya, apa pangkatnya, berapa lamanya, bagaimana menghitung dan mengevaluasi kinerjanya, apa konsekuwensinya apabila yang mengemban jabatan itu berhasil dan atau gagal apakah promosi ketempat yang lebih tinggi atau pindah ketempat lain?. Pertanyaan ini berlaku bagi siapa saja tanpa pilih bulu atau kelompok sehingga setiap orang yang merasa mampu bisa bersaing dalam menempati jabatan tersebut.

Jika digali lebih dalam ternyata filosofis “Siadi demen babi” sangat relevan sekali untuk diimplementasikan atau dijadikan konsep motivasi untuk mengadakan perbaikan bagi peningkatan kinerja baik perorangan maupun kelompok atau organisasi, dan maknanya sangat begitu luas, tidak saja menyadarkan kepada kita yang selalu berfikir terkotak-kotak tetapi dapat memupuk rasa kebersamaan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan organisasi Polri.


MENGKAJI KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA TENTANG KEHUTANAN DAN UPAYA PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING

Oleh : Drs. Yayan Sofian, MSi & Zahrul Bawadi, MM

Menurut William N. Dunn “ Kebijakan Publik adalah apa yang pemerintah lakukan atau tidak dilakukan”, merujuk kepada teori diatas bila kita melihat kehutanan di Indonesia sekarang ini, mungkin itu adalah hasil dari kebijakan Pemerintah Indonesia, walaupun mungkin pemerintah akan dengan keras menyanggah bahwa itu bukan kebijakan pemerintah, “masa iya pemerintah mau menghendaki hutannya rusak”. Tapi sanggahan tersebut akan terbantahkan apabila melihat keadaan kehutanan sekarang ini, dimana pemerintah seakan membiarkan apa yang terjadi pada kehutanan di Indonesia, kebijakan regulatif sampai represif mengenai kehutanan di Indonesia telah dikeluarkan namun sampai saat ini pemerintah seakan tidak berdaya dan tidak mampu mengembalikan keaslian kehutanan Indonesia, berbagai kepentingan pemerintah, pengusaha kehutanan yang mengedepankan dalih mempunyai hak pengelolaan hutan (HPH) dan mungkin sebagian masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan adalah penyebab rusaknya kehutanan di Indonesia.

Dalam Kongres Kehutanan Indonesia IV Pada tanggal 13-15 September 2006, yang bertempat di gedung Manggala Wanabakti, Jakarta . Kongres kali ini bertema "Dari Krisis menuju Kebangkitan: Reposisi Kehutanan Indonesia ". Terungkap data bahwa era tahun 1970-1980 ketika masyarakat menggantungkan ekonomi pada hutan, yang mengakibatkan setiap tahunnya 2,6 juta hektar hutan rusak. Betapa memprihatinkan kondisi hutan dan kehutanan di Indonesia . Laju deforestasi yang meningkat dan penurunan kontribusi sektor kehutanan terhadap pendapatan Negara, sementara masih banyak pekerjaan rehabilitasi yang juga semakin menumpuk dan semakin bertambah. Dari data Departemen Kehutanan tahun 2005, lahan kritis di dalam dan sekitar hutan mencapai luasan 41,5 juta hektar, sedangkan kawasan hutan yang perlu direhabilitasi sampai dengan tahun 2002 adalah seluas 59,7 juta hektar.

Berkurangnya tutupan hutan secara drastis, paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir, juga berkontribusi terhadap kejadian bencana tanah longsor, banjir bandang di banyak tempat di Indonesia . Data Kementrian Lingkungan Hidup mencatat sepanjang tahun 2003 saja terjadi banjir di 136 kabupaten (di 26 propinsi), 111 bencana tanah longsor di 48 kabupaten (di 13 propinsi), 78 peristiwa kekeringan di 36 kabupaten (di 11 propinsi). Belum lagi kebakaran hutan dan kabut asap yang juga sangat mengganggu negara tetangga terjadi setiap tahun di Indonesia . Penurunan daya dukung lingkungan dan kemiskinan di Indonesia merupakan akibat dari kerusakan hutan yang terjadi yang juga kalau dirunut adalah akibat dari praktek pengelolaan dan kebijakan kehutanan yang ada selama ini lebih mengutamakan kepentingan jangka pendek, makro (pertumbuhan ekonomi nasional) dan padat modal. Tidak hanya itu praktek pengelolaan dan kebijakan kehutanan telah banyak melahirkan konflik (termasuk isu tenurialnya) dan pelanggaran HAM akibat praktek represif dalam penegakan hukumnya terutama jika berhubungan dengan keamanan investasi.

Pada awal jabatan Kapolri Sutanto, illegal logging adalah salah satu perioritas tugas Kepolisian yang akan dilakukannya dan memang sejak saat itu pengungkapan illegal logging sering dilakukan oleh Polri walaupun keberhasilan pengungkapan tersebut masih belum begitu banyak. Secara logika kasus illegal logging bagi polisi mungkin tidak akan sesulit seperti mengungkap pelaku pencurian biasa, dimana polisi mungkin masih gelap selain waktu mencuri mungkin dilakukan sewaktu orang lain tidak ada ditempat, juga mungkin polisi tidak tahu tentang barang apa yang dicurinya, dimana tempat barang itu dicuri dengan menggunakan cara bagaimana, pelakunya siapa, dibawa kemana barang tersebut dan dimana barang itu sekarang?. Sedangkan perkara illegal logging mungkin relatif tidak sesulit seperti pencurian biasa karena barang tersebut ada dihutan, barangnya nyata besar, mengambilnya memerlukan proses yang lama, alatnya banyak, menggunakan tenaga manusia yang banyak, barang tersebut jelas akan dibawa ketempat penampungan kayu yang relatif sama, baik melalui darat atau sungai. Setidaknya banyak orang tahu tentang pencurian kayu tersebut dan mungkin kalau secara logika polisi akan dengan mudah melakukan pengungkapannya. Namun logika dan teori tidak sesuai dengan fakta yang ada dilapangan, illegal loging masih sulit untuk diungkap berbagai kendala datang menghadang, dari mulai sikap masyarakat kehutanan yang kurang mendukung, kelihaian para pelaku intelktual (doen pleger) yang bisa menyetel pelaksana dilapangan (pleger) atau oknum aparat yang sering membocorkan operasi Polri sehingga terkadang Polri hanya bisa menemukan barang buktinya saja tanpa bisa menyeret para pelaku yang sesungguhnya.

Selama ini ada berbagai pendapat tentang pengelolaan kehutanan Indonesia menurut kacamatanya masing-masing, ada yang mengusulkan jeda-balak (moratorium), ada yang mengusulkan pembubaran HPH, ada yang mengusulkan restrukturisasi industri, ada pula yang mengusulkan kembali saja ke hutan adapt dan “forest for people” . mereka mempertahankan argumentasinya semuanya saling ngotot, sehingga sulit dikompromikan satu sama lain. Kebijakan Pemerintah tentang kehutanan Indonesia dan pemberantasan illegal logging bukan berarti hutan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, justru kekayaan kehutanan Indonesia adalah harus dijadikan salah satu sumber bagi kesejahteraan rakyat indonesia , dengan demikian persoalan yang menyangkut kehutanan Indonesia harus disikapi dengan kepala dingin dan hanya berorientasi kepada pembangunan bangsa Indonesia yang berkelanjutan.

Dimensi persoalan tentang kehutanan Indonesia sangat beragam, maraknya pelaku illegal loging, sangat memprihatinkan Kawasan hutan yang rusak, yang disinyalir setiap hari bertambah luas, tetapi tidak ada laporan yang pasti yang menjelaskan kerusakan tersebut. Begitu pula para pelaku illegal logging semakin merajalela melakukan pencurian kayu, tetapi disana tidak ada penegakan hukum. Lantas, bagaimana nasib dan masa depan hutan kita ?. Tentu saja fenomena ini harus disikapi oleh kebijakan pemerintah untuk meningkatkan mutu sumber daya aparat penegak hukum yang terkait. Selama ini aparat penegak hukum terdepan yang menangani kehutanan Indonesia belum berfungsi maksimal. Hal ini dikarenakan begitu luasnya domain persoalan yang dihadapi. Salah satu persoalan itu terletak pada domain mutu sumberdaya aparat penegak hukum dilingkunngan kehutanan dan kesadaran masyarakat yang berada disekitar kehutanan.

Diharapkan aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsinya, mempunyai kemampuan dalam pemahaman akademis tentang peraturan perundangan yang berlaku, dan adanya perubahan peraturan perundangan dibidang kehutanan, terutama pemahaman tentang hukum menjadi sangat penting dalam kerangka penegakan hukum. Seperti dalam hal:

1. Pemberantasan Tindak Pidana Illegal Logging

2. Peraturan Perundangan Terkait Illegal Logging

3. Prosedur Tindakan penangan

4. Teknik Patroli, Survival,

5. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan

Idealnya para aparat penegak hukum mampu melaksanakan uraian tugasnya sebagaimana dimandatkan pada peraturan dan perundang-undangan, mampu melaksanakan upaya-upaya penegakan hukum terkait kasus illegal logging, dan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengamanan hutan . Kemampuan lain yang harus dipunyai oleh aparat penegak hukum adalah kemampuan menyadarkan moral dari masyarakat luas termasuk cukong dan masyarakat sekitar hutan yang diperalat pemodal untuk melakukan pembalakan liar, dengan teknik dan taktik tentang pemberdayaan Masyarakat khususnya yang berada di sekitar kawasan hutan. Selain itu Paradigma penanganan kehutanan Indonesia harus dirubah yang selama ini fungsi pengamanan hutan lebih ditekankan pada pola pendekatan repsesif ketimbang pendekatan preventif. Tindakan pencegahan tentunya harus dibangun melalui proses penyadaran yang terstruktur dan terencana dengan mengikut sertakan tokoh dan anggota masyarakat setempat.

Bangsa Indonesia sangat membutuhkan hutan, disamping untuk menjaga keseimbangan eko sistem juga hutan dipakai untuk kesejahteraan masyarakat, dengan demikian pengelolaan hutan tidak hanya dipandang sebagai upaya pelestarian plora dan fauna saja tetapi bagaimana hutan kita bisa dikemas menjadi industri kehutanan yang memang dibutuhkan oleh seluruh manusia di dunia, seperti halnya furnitur dan perumahan. Dengan demikian harus ada upaya untuk membangkitkan kembali dunia usaha kehutanan Indonesia . Sehatkan kembali dunia usaha kehutanan Indonesia agar bisa menjadi lokomotif yang mampu menarik gerbong besar sektor non-migas. Apabila dunia usaha kehutanan sehat, maka multiplier-effects akan sangat dirasakan oelh seluruh stakeholders. Akan terjadi perputaran uang di daerah, perolehan rente ekonomi, sampai peningkatan fiscal bagi pusat maupun daerah. Ciptakan suasana kondusif agar dunia usaha kehutanan bergairah kembali, bisa tumbuh (growth), bisa ekspansi, bisa meningkatkan investasi, sehingga ia bisa menjadi sehat dan akan memberikan “cash-flow” bagi pembangunan daerah maupun pembangunan masyarakat pada umumnya.

Mengingat pentingnya kehutanan bagi bangsa Indonesia , maka kebijakan pemerintah tentang kehutanan jangan mempunyai standar ganda (Ambivalen), diskriminatif dan memunculkan celah bagi terselenggaranya KKN. Penegakan hukum dalam rangka pemberantasan illegal logging adalah suatu keniscayaan harus dilaksanakan untuk menjaga kewibawaan pemerintah dan mencegah dari penyelewengan yang akan berakibat pada keruksakan hutan itu sendiri. Sedangkan dari pihak pengusaha atau pengelola kehutanan dengan adanya kebijakan pemerintah tentang kehutanan jangan menjadi penghalang atau ada merasa serba salah dan berpandangan disatu sisi dunia usaha kehutanan diminta bangkit, namun disana-sini dipasang jerat yang menghambat gerak-langkahnya, seperti berbagai pungutan yang tidak rasional, batasan teknis tidak logik, aturan yang terlalu kaku (rigid), serta berbagai konflik yang dibiarkan terus membara. Semua jerat itu semestinya dikendorkan, meskipun bukan berarti dunia usaha mendapatkan kebebasan absolute yang tiada batas.
Kini semuanya harus bebenah-diri. Harus jujur mengakui kelemahan, lalu bertekad untuk memperbaiki kelemahan itu. Jangan saling tuding dan saling cela. Yang penting roda ekonomi terus berputar, sembari berbenah-diri. Jangan satgnan atau macet sama sekali.

Kesimpulan dari masalah kehutanan Indonesia adalah adalah bagaimana kita bisa menjaga hutan agar lestari dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia . Kehutanan Indonesia harus diselamatkan. Apabila ia masih memiliki cela dan kekurangan selesaikan dengan penegakan hukum yang adil dan bijaksana sehingga pengelolaan hutan ada kepastian hukum dan tentunya akan memberikan juga jaminan keamanannya. Tingkatkan kapabilas distribusi Pemerintah melalui kebijakannya sehingga manfaat di bidang pengelolaan hutan dapat terasa adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia, Jangan muncul peribahasa “Ada tikus mati dilumbung padi” artinya disatu sisi hutan kita lebat produksinya melimpah tapi hanya dinikmati oleh beberapa gelintir orang saja, sedangkan masyarakat banyak yang tidak mampu membeli kayu untuk bahan rumah atau peralatan lainnya, idealnya manfaat kehutanan dirasakan oleh masyarakat banyak. Pemerintah memberikan pasilitator yang baik dengan menciptakan pola kemitraan pengusaha dengan masyarakat, untuk keperluan itu Pemerintah harus dapat mengajak seluruh komponen untuk dapat membangun bersama. Tugas dan tanggungawab pemerintah untuk mendorong keharmonisan hubungan dunia usaha dengan masyarakatnya. Jangan kedua kubu itu justru diadu dan dipertentangkan, hanya karena tiadanya aturan main yang jelas dan berwibawa, atau tiadanya kerelaan penguasa untuk saling “berbagi” peran dan kewenangan.

Sedangkan dalam pemberantasan illegal logging aparatur Pemerintah yang terkait idealnya harus mampu menjaga agar tidak adanya penyelewengan terhadap pengelolaan hutan, untuk itu harus mempunyai kemapuan dalam hal:

1. Melaksanakan uraian tugasnya sebagaimana dimandatkan pada peraturan dan perundang-undangan.

2. Melaksanakan upaya-upaya penegakan hukum terkait kasus illegal logging.

3. Meningkatkan Partisipasi masyarakat dalam pengamanan hutan dan penegakan hukum


MEWASPADAI PERUBAHAN PERILAKU ANAK-ANAK

PADA MASSA PERTUMBUHAN

Oleh : AKP Drs. Yayan Sofian, Msi dan AKP Lilis Nunung

Harian koran Pikiran Rakyat Bandung, hari Jumat tanggal 8 Juni 2007, hal 4 kol 3-8 ada berita yang menghenyakan dada kita sebagai orang tua, menyedihkan dan sekaligus mengharukan, berita itu adalah tentang telah tertangkapnya Empat pelaku penganiayaan seorang pelajar berumur 17 tahun sampai meninggal dunia, diberitakan koran harian itu bahwa para pelaku mengaku dengan terus terang bahwa mereka melakukan perbuatan tersebut ada unsur dendam dan ingin menguasai barang milik korban, alasannya karena salah seorang dari mereka pernah ditantang berkelahi oleh korban. Yang paling mengejutkan adalah cara perbuatan yang mereka lakukan, sangat biadab sekali dan dingin tidak ada menampakan perbuatan kejahatan-kejahatan yang biasa kita dengar, tapi mereka memukuli korban sampai tidak berdaya, kemudian mereka menusukan pisau yang telah dibawanya, sedikitnya 13 tusukan terhadap badan korban, dan selanjutnya para pelaku melucuti pakaian dan sepatu yang dikenakan korban, kemudian kabur dengan menggunakan motor milik korban, sungguh sangat biadab padahal mereka para pelaku itu adalah para pelajar SLTA. Berita tentang perilaku jelek remaja seperti “Perampokan, penganiayaan atau pembunuhan oleh para remaja yang masuk dalam Geng motor” sudah sering muncul di koran-koran dan kejadian itu sering terjadi di mana-mana terutama di pusat kota , modus yang dilakukan tidak jauh berbeda dan dilakukan secara bekelompok-kelompok. Usia pelaku relatif belia berkisar belasan tahun dan rata-rata mereka masih duduk dibangku SLTA,

Semua orang tua tidak mungkin ada yang menginginkan anaknya untuk menjadi seorang pembunuh atau pencuri, para orang tua biasanya menginginkan anaknya hidup lebih baik dari dirinya, untuk itu sangat mengerti apabila seluruh para orang tua walau dengan susah payah tetap berupaya menyekolahkan anaknya untuk mencapai cita-citanya menjadi anak yang baik, namun apa lacur yang diterimanya jika ada anak seperti yang diberitakan pada koran harian diatas, mereka menjadi seorang yang biadab, keji tanpa ada rasa kasihan menganiaya orang lain dan harta korban diambil, korban dipukul diseret tanpa rasa kasihan kemudian untuk menyempurnakan kebiadabannya mereka menusuknya berkali-kali, bukankah itu adalah seperti perbuatan syetan laknat. Timbul pertanyaan kenapa anak tersebut menjadi sesadis itu?, faktor apa yang menyebabkan anak itu melakukan perbuatan tersebut?, apakah ada perubahan yang bisa dideteksi sebelum anak-anak tersebut menjadi sadis begitu?. Apakah ini sudah menjadi pertanda telah terjadi degradasi moral pada anak remaja kita? Upaya apa yang harus dilakukan oleh kita untuk menangkalnya?.

Tidak mudah untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, karena setiap anak akan berbeda setiap permasalahannya, hanya kalau sepintas mereka melakukan perbuatan yang negatif itu biasanya karena ingin memperlihatkan jagoan kepada rekan-rekannya, atau perbuatan imitasi yang meniru dari film-film yang menyajikan adegan kekerasan yang ditonton dari pesawat TV, atau mungkin diantara pelaku juga ada yang pernah menjadi korban dari pelaku yang lainnya.

Dr.Siman (Suara Daerah Majalah Pendidikan No. 315 Tahun 1997: 15) mengutif pendapat Holander(1982) dan Keller (1981) yang lebih menyoroti pengaruh peranan teman sebaya remaja terhadap perilaku tawuran (lempar-lemparan, pengeroyokan, penghadangan,pengrusakan dan lain sebagainya). Lebih jauh Siman mengungkapkan bahwa teman kelompok sebaya adalah kelompok referensi dengan siapa mereka mengidentifikasikan diri dan mengambil standard. Mereka memiliki pendirian dan melihat dunia dengan pandangan yang relatif sama.

Sedangkan Prof.DR. H. Moh. Surya (Suara Daerah Majalah Pendidikan No. 315 Tahun 1997: 7 ) mengatakan bahwa masa remaja untuk wanita yang berumur antara Sebelas sampai dengan Lima Belas tahun dan Laki-laki antara Dua Belas sampai dengan Enam Belas tahun digolongklan pada masa pubertas dimana pada masa itu berada dalam antara akhir masa anak-anak dan awal dari remaja, sedangkan pubertas tersebut dapat terjadi secara bervariasi antara usia Sembilan sampai Sembilan Belas tahun. Selanjutnya Moh surya mengatakan bahwa pada aspek sikap dan perilaku poengaruh perubahan pada masa pubertas antara lain nampak dalam bentuk keinginan untuk menyendiri, kebosanan, kurang koordinasi diri, timbulnya antagonisme sosial, kepekaan emosional seperti mudah tersinggung, perasa, kehilangan kepercayaan diri, kehawatiran yang berlebihan dan lain sebagainya.

Merujuk kepada pendapat para pakar tersebut sangat relevan sekali dengan bahasan permasalahan tentang remaja yang berkembang sekarang ini, dimana perbuatan kejahatan yang dilakukan oleh para remaja yang masih duduk di tingkat SLTA rata-rata dengan menggunakan kelompoknya, tidak sendiri-sendiri dan relatif menggunakan mode dan trend yang ada atau berlaku saat ini. Dimungkinkan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh mereka itu bukan murni kehendak mereka, atau mungkin mereka tidak menyadari akan akibat yang akan ditimbulkannya, mereka melakukan mungkin hanya untuk pamer kepada kelompok sebayanya bahwa mereka adalah orang yang mampu melakukan seperti apa yang dilakukan oleh orang lain sesamannya tanpa memperhitungkan dampak akibatnya. Kalau melihat dari pendekatan para teori seperti yang telah disampaikan diatas dan para ahli lainnya kemudian dibandingkan dengan fenomena kenyataan yang berkembang sekarang ini dalam kehidupan para remaja, dapat disimpulkan bahwa kehidupan para remaja sangat dipengaruhi oleh besaran perkembangan lingkungan yang mempengaruhinya, dan tentunya pengaruh lingkungan tersebut bisa bersifat positif atau negatif, tinggal kemana mereka akan bergerak apakah kuat arus negatif atau kuat arus positifnya.

Tingginya angka gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat seperti Curat, Curas, Curanmor, kekerasan dimuka umum, penganiayaan, pembunuhan dan kejahatan lainnya memerlukan perhatian dan penanganan yang sangat ekstra oleh pemerintah Cq Polri yang mempunyai tugas pokok pemeliharaan Kamtibmas, Penegakan hukum untuk melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Karena gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut selain akan mengganggu kenyamanan kehidupan masyarakat sehari-hari juga akan berdampak luas bagi terselenggaranya pemerintah secara umum terutama perekonomian. Contohnya tidak sedikit para pemilik modal atau kaum investor melarikan modalnya keluar negeri salah satu alasannya karena keamanan dalam negeri kurang kondusif, mereka menilai bahwa tingginya gangguan keamanan dan ketertiban menunjukan bahwa jaminan keamanan dan kepastian hukum kurangnya di indonesia . Untuk itu dari sekarang harus ada upaya pencegahan atau upaya menghilangkan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, Pemerintah Cq Polri harus mampu berada didepan dan mengajak semua unsur komponen masyarakat untuk berani dan peduli untuk memerangi semua bentuk gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat termasuk faktor yang diduga sebagai pemicu akan terjadinya gangguan Kamtibmas seperti perubahan perilaku anak remaja yang negatif yang mendorong munculnya kenakalan dan kejahatan remaja seperti sekarang ini. Selama ini terkesan adanya pembiaran dan menganggap wajar terhadap kenakalan dan kejahatan remaja ini atau menganggap hal kecil dan sepele, padahal jika hal itu dibiarkan peluang munculnya kejahatan yang berkadar tinggi akan lebih besar.

Penanganan oleh Polri berupa pengungkapan berbagai kejahatan seperti yang diberitakan diberbagai pemberitaan media massa dan media elektronik terhadap para pelaku kenakalan dan kejahatan remaja dirasakan sudah tepat, namun akan lebih baik lagi apabila hal itu diikuti oleh upaya untuk memberantas kepada akar permasalahan yang tidak tampak atau berada dibawah permukaan yang sewaktu-waktu akan meledak dan akan menjadi gangguan keamanan dan ketertiban yang lebih besar, seperti ada dalam lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Untuk itu pengawasan terhadap perilaku anak itu perlu ditingkatkan yang melibatkan semua komponen masyarakat, para orang tua, guru, tokoh agama, tokoh pemuda dan Pemerintah. Semua komponen itu harus betul-betul penuh perhatian dan peduli terhadap perkembangan perilaku anak remaja untuk digiring kepada hal-hal yang positif sehingga kelak akan berfungsi dan berguna bagi Bangsa dan Negara bukan sebaliknya. Upaya tersebut memang tidak mudah untuk dilakukan karena banyaknya hambatan dari adanya keterbatasan dalam berbagai bidang, namun hambatan tersebut akan dapat dengan mudah diatasi apabila semua komponen bangsa betul-betul peduli dan memikirkan yang terbaik bagi perkembangan anak remaja kita.

Masa remaja atau istilah lain masa pubertas adalah masa penuh gejolak diri anak yang akan menentukan kearah mana mereka akan bergerak, disana tersedia berbagai jalan dan berbagai pengaruh lingkungan yang mempengaruhi benaknya. Terkadang mereka tidak percaya kepada orang tua atau gurunya dan ingin mencoba segala hal walaupun banyak contoh akibatnya, sedangkan banyak perbuatan yang negatif yang apabila satu kali mencoba akan fatal akibatnya seperti Narkoba dan kejahatan lainnya. Untuk itu semua komponen masyarakat sangat perlu untuk meningkatkan perhatian terhadap anak-anak remaja yang aberada dalam lingkungannya masing-masing, untuk kemudian menggiring mereka kearah yang fositif dan mencegah hal-hal yang bersifat negatif.

Upaya-upaya yang dilakukan bisa dimulai dari beberapa tindakan seperti tersebut dibawah ini:

1. Mendorong untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, disertai dengan memberikan contoh yang baik dari para orang tua. Sehingga anak bisa mencontohnya dan tidak akan mengkritisi “hanya bisa omong doang saja”, ungkapan itu sering terdengar dari para anak remaja jika tidak sesuai fakta yang ada, keberanian anak berkata demikian karena mereka berada pada masa kritisi yang membanding-bandingkan keadaan. Untuk itu para orang tua harus berada disegala arah baik didepan, ditengah maupun di belakang mereka.

2. Berupaya untuk dapat membersihkan faktor lingkungan, terutama lingkungan global yang masuk melalui teknologi informasi, bimbingan para orang tua dan guru mutlak diperlukan karena dengan teknologi informasi ini akan dengan mudah mempengaruhi fikiran anak remaja terutama lewat sosial budaya asing yang belum tentu cocok dan fositif bagi perkembangan anak remaja kita.

3. memberikan kesempatan dan penyediaan fasilitas yang banyak kepada para anak remaja untuk mengembangkan kreatifitas dan aktivitas yang fositif.

4. Menanamkan sikap yang hormat kepada Guru dan orang tua dan menyayangi semua orang, sehingga timbul rasa persatuan gotong royong seperti yang telah dicontohkan para leluhur bangsa kita.

5. Menumbuhkan dan memupuk rasa cinta terhadap Bangsa dan Negara, sehingga timbul semangat nasionalisme yang rela berkorban untuk tanah air.

Tidak ada komentar: